Baru menggeliat disaat mentari meninggi
Disaat gendrang hidup telah beradu sejak surya menggelincir
Tubuhku masih kaku bermalasan dalam selimut sutra
Pikiranku masih lelah walau diistirahatkan lama
Malas meraih gagang jendela membiarkan udara berganti
Kuhirup sedalam yang ku bisa biar pelan saat berat
menghembuskan kembali
Kusapu setiap sudut puncak merapi yang menjulang
Kutatap dalam walau ia diam dalam keangkerannya
Setengah kuseret langkah menyirami raga
Dingin air gunung tak meredam resah dada
Masih tersisa panas luka yang mungkin berbekas
Meninggalkan larik goresan rasa kecewa di kisi-kisi hati
Setengah tergesa tanganku menyuap sarapan pagi
Tidak banyak tertelan hanya potongan kecil yang esensi
rasanya berbeda
Teganya rasa sampai seleraku pun terbubut sirna entah kemana
Enggan kulumati tiap cecahnya agar kunyahan terakhir mampu
menutupi kegelisahan yang abstrak
Duduk melingkar di tepi tanurku meresapi hembusan hangatnya
Tetap tak tembus menenangkan relung melesap waktu
Melirik tiap percik api yang seirama gelora luka
Amarah atas pengkhianatan cinta tulus
Petangpun mengunci kehidupan sekuler
Temaramnya teduh tapi tetap tak bisa menggugah rasaku
Rasa yang terlanjur menolak evokasi apapun darimu
Biar petang meninggalkan masa lalu biar kusiap saat evokasi
baru menyambang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar